15 - Januari - 2017 - "Jangan berisik". Teguran yang biasa disampaikan pada siapapun yang melakukan ketidaknyamanan dengan suara pada perorangan atau kelompok. Seperti ayah menegur anak dan guru terhadap murid. Lepas apapun penyebab dari contoh diatas.
Jika dipikirkan secara perlahan, kata berisik perlu diwajarkan. Memang ada hal yang tidak diwajarkan. Semua kembali pada kondisi penyebab.
Akan tetapi yang akan dibahas bukan pada kondisi ayah dalam keluarga dan guru dalam kelas. Namun situasi dimana manusia yang berusaha bersuara dengan lantang dan terkadang dengan intonasi yang keras untuk menyampaikan pendapat kemudian disikapi dengan "jangan berisik, kamutuh komentar terus,suara kamu saya akan lenyapkan, dan tidak akan ada yang mau mendengar".
Menyikapi hal itu, bagi sebagian orang mungkin akan memahami, walaupun masih ada yang belum bisa menerima. Mereka yang belum paham sepertinya akan terlihat risih. Sebetulnya agak aneh jika sikap yang keluar bukan sifat manusiawi, "bukankah media sosial saja bisa dikomentar, padahal itu bentuk komunikasi maya, bagaimama manusia yang bisa berkomikasi langsung (nyata). Masa tidak boleh berbicara dan bersuara.
Permasalahan di atas sebetulnya hanya bisa diselsaikan dengan memeberikan ruang bicara. Seharusnya bisa disikapi dengan baik dan menempatkan mereka di tempat semestinya, yaitu tempat tabayun (diskusi), itu adalah ruang yang efektif dan efisien dalam menampung suara yang sebenar-benarnya.
Ayolah satukan saran kepada siapa saja, hindari sikap menanggapi komentar dengan seperti itu, hal itu tidak mewakili cara sifat baik manusia. Semua kata yang terucap licin dari lisan yang tidak bertulang namun mampu mematahkan tulang kehidupan manusia, bukankah hal itu berbahaya. Jika manusia sudah tidak bisa berdiri kokoh maka mereka tidak mampu berjalan (mengalami kelumpuhan), siapa yang akan bertanggung jawab jika sudah seperti itu. Hilangkan sikap merasa bisa dan pintar, tapi hadirkan sikap sebagai manusia yang terus belajar. Rangkulah, lalu tempatkan, dan sikapi serta lakukan dengan bersama-sama, bukankah akan lebih indah dan kuat jika semua menjadi bagian yang penting.
Saatnya menengok mereka yang sudah menyampaikan dengan kelembutan, tanpa emosi untuk niat memperbaiki. Semua perlu didengar lalu direnungkan dengan baik, sifat mendengar itu lebih utama dari pada sikap mengalihkan pembicaraan. Jangan pula pintar mendengar, selepas itu pura-pura tuli, wajah polos tanpa dosa menyelimuti, akhirnya terus merasa benar menurut diri sendiri. Padahal belum sama sekali mencoba untuk kerja bakti, padahal niatnya suci. Bagaimana pula jika risih dan malas masih mencengkram dalam diri. Akibatnya telinga akan terus berpura-pura mendengar, pada kenyataanyakan terus tuli.
Bukankah semua tahu, jika manusia yang peka akan bekerja dengan cara yang cepat dan tepat, melakukan dengan proses yang maksimal. Cukup lemah jika manusia benar menurut dirinya dan salah menurut dirinya. Yang berdampak pada malas bekerja, karena mindset terpola dengan kata "jika bukan datang dari diri, saya tidak begitu peduli", jadi semua harus menurut dirinya sendiri saja.
Walaupun demikian, tetap harus saling mema'lumi. Semua adalah ruang belajar dan sikapi dengan pembelajaran bukan kebencian atau bahkan kesimpulan "saya tidak suka" pada orang atau situasi apapun. Ajakan yang perlu disampaikan adalah cobalah tempatkan diri dengan mengeluarkan nilai kebaikan dan kebijaksanaan sebagai manusia. Manusia itu perlu saling belajar, coba pahami dengan baik bukan malah lari dari ketidak pahaman. Semua berhak menjadi bagian terpenting dalam upaya perbaikan. Jangan pernah berani untuk mempersempit ruang bicara orang lain. Tidak ada perbedaan porsi suara manusia, semuanya sama. Semua harus datang dengan kejernihan supaya rahmat terus mendampingi hasilnya.Ayo bekerja bersama, teruslah bersuara dengan sabar,semua akan indah pada waktunya - (afa)
0 comments:
Post a Comment